PENDAHULUAN
Dalam
menghadapi perkembangan penduduk masyarakat modern menuntut ilmu perbaikan
kondisi kesehatan dan kehidupan, di antaranya gizi, pakaian, tempat tinggal,
adan transportasi. Untuk memenuhi tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus
diproduksi dan digunakan, banyak di antaranya dalam jumlah besar. Diperkirakan
berpuluh-puluh ribu jenis bahan kimia kini diproduksi secara komersial di
Negara-negara industri. Dengan berbagai cara, bahan kimia ini bersentuhan
dengan berbagai segmen penduduk : yang terlibat dalam proses pembuatannya, yang
menanganinya, yang menggunakannya (misalnya pelukis, pemakai pestisida)., yang
mengkonsumsinya (misalnya obat-obatan, zat tambahan makanan), atau yang
menyalahgunakannya (misalnya bunuh diri, keracunan secara tak sengaja). Selain
itu, orang mungkin terpajang bahan kimia secara lebih menetap lewat berbagai
media lingkungan dan terpengaruh secara lebih perlahan.
Dengan semakin
meningkatnya penduduk dunia, kebutuhan makanan akan semakin meningkat. Berbagai
cara fisik dan zat kimia telah dikembangkan dan digunakan untuk meningkatkan
pasokan makanan. Meningkatnya efisiensi pertanian mengurangi jumlah petani.
Selain itu, dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi, semakin banyak orang
bertempat tinggal jauh dari tanah pertanian. Perubahan social ini mengakibatkan
makin meningkatnya kebutuhan akan makanan olahan yang dapat diangkut dari
daerah pertanian ke kota
dengan tetap mempertahankan nilai gizi serta sifat orang anoleptiknya.
Kebutuhan ini sebagian besar dapat dipenuhi oleh penambahan bahan kimia yang
dikenal sebagai zat tambahan makanan (Frank C.LU dkk, 1995).
Beberapa zat
kimia ditambahkan pada makanan untuk meningkatkan keawetannya, untuk membuat
makanan itu dapat diproduksi secara massaql, atau untuk meningkatkan daya tarik
bagi konsumennya adalam segi warna, rasa, bentuk dan kemudahan (Frank C. LU
dkk,1995).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
KERACUNAN
DAN ZAT TAMBAHAN MAKANAN
1.
KERACUNAN
a.
Definisi
Pada hakekatnya semua zat dapat berlaku sebagai racun, tergantung pada
dosis dan cara pemberiannya. Dengan demikian suatu zat dinyatakan sebagai racun
bila zat tersebut menyebabkan efek yang merugikan pada yang menggunakannya.
Namun dalam prakteknya, hanya zat dengan resiko relative besar untuk
menyebabkan kerusakan yang dinyatakan sebagai racun. Dalam hal ini perlu
diperhatikan bahwa : “sola docis facit venenum” (Paracelsus). Artinya,
kehadiran suatu zat yang potensial toksik di dalam organisme belum tentu
menghasilkan juga keracunan. Dalam hampir setiap manusia dapat dinyatakan jumlah
tetentu dari timbale, raksa dan DDT, namun meskipun zat ini tidak dapat
menimbulkan gejala keracunan, selama jumlah yang diabsorbsi berada di bawah
konsentrasi yang toksik. Hanya pada dosis toksik suatu senyawa menjadi racun.
Sebaliknya, bila diabsorbsi dalam jumlah besar yang sesuai, setiap zat pada
dasarnya, juga air bersih, ternyata racun. Dari pada yang telah dikemukakan
dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuktian racun pada konsentrasi yang subtoksik
mempunyai arti penting karena dengan mengetahui adanya bahaya pada saat yang
tepatr, dapat dihindari eksploitasi lebih lanjut dan karena itu kerusakan
karena keracunan dapat dihindari. Karena gejala yang timbul sangat bervariasi,
kita harus mengenal gejala yang ditimbulkan oleh setipa agens agar dapat bertindak
dengan cepat dan tepat pada setiap kasus dengan dugaan keracunan.
Seseorang dicurigai menderita keracunan bila :
1.
seorang yang sehat mendadak sakit.
2.
gejalanya tak sesuai dengan suatu keadaan psikologik
tertentu
3.
gejalanya menjadi progresif dengan cepat karena dosis
yang besar dan intolerable.
4.
anamnestik menunjukkan ke arah keracunan, terutama pada
kasus bunuh diri / kecelakaan.
Tentu ada juga zat yang pada dosis sangat rendah sudah beracun. Toksik
Clostridium botulinum, misalnya telah bekerja pada dosis sepersejuta. Microgram
per kg (10 mg/kg), tetapi hamper tidak seorangpun berkontak dengan racun ini.
Sebaliknya terjadi lebih banyak kasus keracunan yang berarti dengan zat yang
jauh lebih kurang toksiknya, misalnya dengan methanol, yang baru bekerja toksik
pada dosis yang melebihi 10 g. dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya
tergantung pada sifat zatnya sendir, tetapi juga pada kemungkinan untuk
berkontak dengannya dan pada jumlah yang masuk dan diabsorpsi, dengan kata lain
tergantung pada cara kerja, frekuensi kerja dan waktu kerja.
b.
Etiologi
Semua zat yang disebutkan di bawah ini dapat berlaku atau menyebabkan
keracunan pada seseorang yaitu :
1)
Obat
2)
Zat yang menimbulkan ketergantungan
3)
Zat tambahan makanan, bahan makanan dan makanan itu
sendiri
4)
Pestisida
5)
Industri
6)
Lingkungan
7)
Aksidental / tak sengaja
8)
Perang
9)
Sinar
10) Forensic
11) Logam
Meskipun toksisitas merupakan sifat bawaan suatu zat, bentuk dan
tingkat manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantung pada berbagai
jenis faktor.
1)
Faktor Penjamu
a)
Spester, Strain dan Individu
Telah lama diketahui adanya efek toksik antara satu spesies dan spesies
lain. Pengetahuan akan hal ini digunakan untuk mengembangkan, misalnya,
pestisida yang lebih toksik bagi hama
daripada bagi manusia dan mamalia lain. Meskipun demikian, diantara mamaliapun
ada perbedaan yang menonjol dalam toksisitas (Williams, 1974). Beberapa
perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme detoksikasi. Misalnya, pada
beberapa spesies hewan coba, lamanya waktu tidur yang diinduksi oleh heksobarbital
sangat berbeda-beda diantara spesies itu.
Perbedaan respon terhadap heksobarbital, meskipun tidak begitu nyata,
juga ditemukan diantara berbagai strain menat (Say, 1955).
Terlepas adari variasi kerentaran antara satu spesies dan spesies lain,
serta antara satu strain dan strain lain, ada juga variasi diantara individu
dalam satu spesies dan satu strain. Variasi individual semacam itu biasanya
secara relative kecil, tetapi ada beberapa perkecualian. Fenomena ini telah
banyak dipelajari pada manusia. Misalnya, ada orang yang termasuk “inaktifaktor
lambat”, yang kekurangan aseti transferase, sehingga ia lebih mudah menderita
neuropati perifer. Sebaliknya, ia orang yang asetiltransferasenya lebih efisien
emerlukan isoniazid dosis lebih besar untuk mendapat efek terapeutiknya
sehingga orang ini cenderung menderita kerusakan hati.
b)
Seks, Status Hormonal dan Kehamilan
Hewan jantan dan betina dari strain dan spesies yang sama biasanya
bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama pula. Meskipun demikian, ada
pula perbedaan kuantitatif menonjol dalam kerentanan mereka, terutama pada
tikus. Misalnya, kloreform bersifat nefrotoksik akut pada menat jantan tetapi
tidak pada yang betina. Lebih besarnya kerentanan menat jantan ini dapat
dipahami bila kita mengingat tingginya kadar sitokorm P-450 (Smith dkk, 1983).
Ketidakseimbangan hormone nonsexual dapat juga mengubah kerentanan
hewan terhadap toksikan. Hipertiroidisme, hiperinsulinisme, adrenalektomi, dan
stimulasi poros hipofisisadrenol semuanya telah terbukti dapat mengubah efek
toksikan (Doull, 1980 : Hodgson, 1987).
Ada
beberapa bukti bahwa tikus hamil (Ivankovic, 1969) lebih rentan terhadap
aktivitas kasinogenetik etilnitrosourea. Tumor sangat ganas yang tampaknya
berasal dari trofoblas itu muncul pada hewan ini dan mengakibatkan kematian
secara cepat.
c)
Umur
Telah lama diketahui bahwa neonatus dan hewan yang sangat muda umumnya
lebih rentan terhadap toksikan seperti morfin. Untuk sebagian besar toksikan,
organisme muda 1,5 – 10 kali lebih rentan daripada yang dewasa. (goldental,
1971).
Kloramfenikol diekskresi terutama sebagai suatu konjugat glukuronid.
Bila 1 dosis sebesar 50 mg/kg diberikan kepada bayi usia ½ hari, kadarnya di
darah adalah 15 mg/mL atau lebih selama selang waktu 48 jam. Sebaliknya,
anak-anak berumur 1-11 tahun hanya mempertahankan kadar darah setinggi itu
selama 12 jam (Weiss dkk, 1960).
Namun, tidak semua zat kimia lebih toksik pada kaum muda. Zat-zat
tertentu, terutama perangsang SSP, tidak begitu toksik bagi neonatus. Lu dkk
(1965) melaporkan bahwa LDso DDT adalah lebih dari 20x lebih besar pada tikus
baru lahir dibandingkan pada yang dewasa, ini jauh berbeda dengan malation.
Toksikan tertentu lebih banyak diserap oleh makhluk muda daripada
makhluk dewasa. Misalnya, anak-anak kecil dapat menyerap timbale empat samapai lima kali lebih banyak
daripada orang dewasa (Mc Cabe, 1979) dan dapat menyerap kodmium 20x lebih
banyak (Sasser dan Jarbon, 1977).
d) Status
Gizi
Sejumlah penelitian karsiogenesis telah menunjukkan bahwa pengurangan
jumlah zat makanan dapat menurunkan humongenisitas karsinogen, seperti
afatoksim B dan dimetil nitrosamine. Kekurangan vit A menekan fungsi MFO
(sistem oksidare fungsi campur). Secara umum, demikian juga dengan defisiensi
vitamin C dan E. Tetapi kekurangan tiamin
berefek sebalinya. Si samping iru, kekurangan vitamin A juga meningkatkan
kerentanan sistem pernapasan terhadap karsinogen (Nettesheim dkk, 1979).
e)
Penyakit
Untuk biotransformasi dan ekskresi, keadaan fungsi hati dan ginjal
sangat penting. penyakit hati seperti hepapatitis akut dan kronis, sinosis hati
dan nekrosis hati mengakibatkan menurunnya diotransformasi. Penyakit ginjal
dapat juga mempengaruhi manifestasi toksik berbagai zat kimia. Efek ini terjadi
akibat kacaunya fungsi ekskresi dan metabolic ginjal..Penyakit jantung, bila
berat, juga dapat meningkatkan toksisitas beberapa zat kimia dengan mengganggu
sirkulasi hati dan ginjal, sehingga mempengaruhi fungsi metabolic dan ekskresi
alat tubuh ini.
2)
Faktor Lingkungan
a)
Faktor Fisik
Perubahan suhu dapat mengubah toksisitas. Misalnya, kolkisin dan
digitalis lebih bersifat toksik bagi tikus daripada katak. Tetapi toksisitasnya
terhadap katak akan meningkat bila suhu lingkungan dinaikkan. Efek suhu
lingkungan terhadap besar dan lamanya respon tampaknya berhubungan dengan
reaksi biokimia yang bergantung suhu, yang berperan dalam menimbulkan efek dan
boitransformasi bahan kimia itu.
b)
Faktor Sosial
Telah diketahui bahwa lingkungan peternakan dan berbagai jenis faktor
social dapat mengubah toksisitas berbagai zat kimia : penanganan hewan, cara
pengandangan, jenis sangkar, dan bahan alas, semua merupakan faktor yang
penting.
c.
Patologi dan Patofisiologi
Selain menyebabkan efek local di tempat kontak suatu toksik akan
menyebabkan kerusakan bila ia diserap oleh organisme itu. Selain itu, sifat dan
hebatnya efek zat kimia terhadap organisme ini tergantung dari kadarnya di
organ sasaran. Kadar ini tidak hanya bergantung pada dosis yang diberikan
tetapi juga pada beberapa faktor lain misalnya derajat absorpsi, distribusi,
pengikatan dan ekskresi. Agar dapat diserap, didistribusi, dan akhirnya
dikeluarkan, suatu toksikan harus melewati sejumlah membrane sel. Suatu
toksikan melewati membrane sel melalui 4 mekanisme penting yaitu difusi pasif,
filtrasi melalui pori-pori, transport dengan perantaraan carier, dan percakapan
oleh sel.
Jalur utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru
dan kulit. Namun, dalam penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus
seperti injeksi intraperitoneal, intramuskuler, dan subkutan. Setelah suatu zat
kimia memasuki darah, ia didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh. Laju
distribusi ke tiap-tiap alat tubuh berhubungan dengan aliran darah di alat
tersebut, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel
serta afinitas komponen alat tubuh terhadap zat kimia itu. Setelah diabsorpsi
dalam tubuh, toksikan dapat dikeluarkan dengan cepat / perlahan. Mereka
dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit, dan / sebagai konjugat. Jalur
utama ekskresiatau urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi
penting untuk zat kimia jenis tertentu.
Seperti terlihat di atas, sifat dan intensitas efek suatu bahan kimia
bergantung pada kadarnya di tempat kerja, yaitu dari efek dosis efektifnya.
Umumnya, kadarnya di dalam organ sasaran merupakan fungsi kadar darah.. Namun,
pengikatan toksikan dalam jaringan akan menambah kadarnya, sementara sawar
jaringan cenderung mengurangi kadarnya.
Selama penyerapan, kadar toksikan dalam darah meningkat. Sementara itu,
laju ekskresi, biotransformasi dan distribusinya ke alat-alat tubuh dan
jaringan lain juga bertambah. Kutva yang melukiskan hubungan kadar darah
terhadap waktu serta area bawah kurva (AUC) merupakan alat yang berbuna dalam
toksikokinetik. Dalam suatu rangkaian penelitian percobaan, Smith dan
Hottendorf (1980) menunjukkan bahwa AUC untuk suatu larutan zat kimia umumnya
lebih besar daripada AUC untuk suspensinya dan AUC lebih besar untuk zat kimia
yang bersifat asam dibandingkan dengan yang bersifat basa.
Pengaruh laju ekskresi terhadap kadar darah dapat dilihat dari contoh
sakarin dan metal merkuri. Sakarin segera diekresi, karena itu kadar darahnya
menurun cepat, bahkan setelah pemberian berulang-ulang. Sebaliknya, metal
merkuri diekskresi sangat perlahan, penimbunannya yang berangsur-angsur
menyebabkan kadar terus meningkat dan baru setelah 270 hari menjadi datar
(Munro dan Willes, 1978).
Efek toksik sangat bervariasi dalam sofat, organ sasaran, maupun
mekanisme kerjanya. Semua efek toksik ini terjadi karena interaksi biokimiawi
antara toksikan dengan simulasi reseptor tertentu dalam tubuh.
1)
Efek Lokal dan Sistemik
Efek local
dapat terjadi jika beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan
itu bersentuhan dengan tubuh. Sedangkan efek sistemik terjadi hanya setelah
toksikan diserap dan tersebar ke bagian tubuh lain.
2)
Efek Terpulih dan Nirpulih
Efek toksik disebut
berpulih (reversible) jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sedangkan,
efek nirpulih (irreversible) akan menetap
atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek
nirpulih di antaranya karsinama, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati.
3)
Efek Segera dan Tertunda
Banyak
toksikan menimbulkan efek segera, yaitu efek yang timbul segera setelah 1x
pajanan. Sedangkan efek tertunda timbul beberapa waktu setelah pajanan..
4)
Efek Morfologis, Fungsional dan Biokimiawi
Efek
morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada
morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini misalnya nekrosis dan neoplasia,
bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan
berpulih pada fungsi organ sasaran. Karenanya, pada penelitian toksikologi
fungsi hati dan ginjal selalu diperiksa.
Walaupun semua
efek toksik berkaitan dengan perubahan biokimiawi, pada uji toksisitas rutin,
yang dimaksud dengan “efek biokimiawi” pada umumnya untuk toksik yang tidak
menyebabkan perubahan morfilogis.
5)
Reaksi Alergi dan Kliosinkrasi
Reaksi alergi
(disebut juga reaksi hipersensitivitas) terhadap toksikan disebabkan oleh
sensitisasi sebelumnya oleh toksikan itu / bahan yang mirip secara kimiawi.
Sedangkan, reaksi Idiosinkrasi pada umumnya didasari oleh faktor keturunan yang
menyebabkan reakktivitas abnormal terhadap bahan kimia.
Toksikan tidak
mempengaruhi semua organ secara merata. Mekanisme yang mendasari tentang
bagaimana suatu toksikan mempengaruhi organ tertentu antara lain lebih pekanya
suatu organ, lebih tingginya kadar kimia atau metabolinya di organ sasaran
(contoh berbagai efek toksikan pada berbagai sistem dalam tubuh :
1)
sistem Pernapasan
toksikan dapat
memberikan efek sistematik setelah diserap dari saluran napas dan disebabkan ke
jaringan lain, toksikan tersebut dapat juga menginduksi efek local pada saluran
napas, toksikan juga dapat memberikan efek pada paru-paru seperti iritasi
local, kerusakan sel dan edema, fibrosis dan emfisema, respon alergi, kanker
paru-paru. Toksikan juga dapat mempengaruhi saluran nafas setelah pajanan lewat
jalur paru-paru lainnya
2)
hati
toksikan dapat
menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati,
mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati seperti perlemakan hati ( steatosis
), nekrosis hati, kolestasis, sirosis & hepatitis yang mirip .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar