Sabtu, 24 Mei 2014

KERACUNAN ZAT TAMBAHAN MAKANAN



PENDAHULUAN

Dalam menghadapi perkembangan penduduk masyarakat modern menuntut ilmu perbaikan kondisi kesehatan dan kehidupan, di antaranya gizi, pakaian, tempat tinggal, adan transportasi. Untuk memenuhi tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus diproduksi dan digunakan, banyak di antaranya dalam jumlah besar. Diperkirakan berpuluh-puluh ribu jenis bahan kimia kini diproduksi secara komersial di Negara-negara industri. Dengan berbagai cara, bahan kimia ini bersentuhan dengan berbagai segmen penduduk : yang terlibat dalam proses pembuatannya, yang menanganinya, yang menggunakannya (misalnya pelukis, pemakai pestisida)., yang mengkonsumsinya (misalnya obat-obatan, zat tambahan makanan), atau yang menyalahgunakannya (misalnya bunuh diri, keracunan secara tak sengaja). Selain itu, orang mungkin terpajang bahan kimia secara lebih menetap lewat berbagai media lingkungan dan terpengaruh secara lebih perlahan.
Dengan semakin meningkatnya penduduk dunia, kebutuhan makanan akan semakin meningkat. Berbagai cara fisik dan zat kimia telah dikembangkan dan digunakan untuk meningkatkan pasokan makanan. Meningkatnya efisiensi pertanian mengurangi jumlah petani. Selain itu, dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi, semakin banyak orang bertempat tinggal jauh dari tanah pertanian. Perubahan social ini mengakibatkan makin meningkatnya kebutuhan akan makanan olahan yang dapat diangkut dari daerah pertanian ke kota dengan tetap mempertahankan nilai gizi serta sifat orang anoleptiknya. Kebutuhan ini sebagian besar dapat dipenuhi oleh penambahan bahan kimia yang dikenal sebagai zat tambahan makanan (Frank C.LU dkk, 1995).
Beberapa zat kimia ditambahkan pada makanan untuk meningkatkan keawetannya, untuk membuat makanan itu dapat diproduksi secara massaql, atau untuk meningkatkan daya tarik bagi konsumennya adalam segi warna, rasa, bentuk dan kemudahan (Frank C. LU dkk,1995).



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    KERACUNAN DAN ZAT TAMBAHAN MAKANAN
1.      KERACUNAN
a.      Definisi
Pada hakekatnya semua zat dapat berlaku sebagai racun, tergantung pada dosis dan cara pemberiannya. Dengan demikian suatu zat dinyatakan sebagai racun bila zat tersebut menyebabkan efek yang merugikan pada yang menggunakannya. Namun dalam prakteknya, hanya zat dengan resiko relative besar untuk menyebabkan kerusakan yang dinyatakan sebagai racun. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa : “sola docis facit venenum” (Paracelsus). Artinya, kehadiran suatu zat yang potensial toksik di dalam organisme belum tentu menghasilkan juga keracunan. Dalam hampir setiap manusia dapat dinyatakan jumlah tetentu dari timbale, raksa dan DDT, namun meskipun zat ini tidak dapat menimbulkan gejala keracunan, selama jumlah yang diabsorbsi berada di bawah konsentrasi yang toksik. Hanya pada dosis toksik suatu senyawa menjadi racun. Sebaliknya, bila diabsorbsi dalam jumlah besar yang sesuai, setiap zat pada dasarnya, juga air bersih, ternyata racun. Dari pada yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuktian racun pada konsentrasi yang subtoksik mempunyai arti penting karena dengan mengetahui adanya bahaya pada saat yang tepatr, dapat dihindari eksploitasi lebih lanjut dan karena itu kerusakan karena keracunan dapat dihindari. Karena gejala yang timbul sangat bervariasi, kita harus mengenal gejala yang ditimbulkan oleh setipa agens agar dapat bertindak dengan cepat dan tepat pada setiap kasus dengan dugaan keracunan.
Seseorang dicurigai menderita keracunan bila :
1.      seorang yang sehat mendadak sakit.
2.      gejalanya tak sesuai dengan suatu keadaan psikologik tertentu
3.      gejalanya menjadi progresif dengan cepat karena dosis yang besar dan intolerable.
4.      anamnestik menunjukkan ke arah keracunan, terutama pada kasus bunuh diri / kecelakaan.
Tentu ada juga zat yang pada dosis sangat rendah sudah beracun. Toksik Clostridium botulinum, misalnya telah bekerja pada dosis sepersejuta. Microgram per kg (10 mg/kg), tetapi hamper tidak seorangpun berkontak dengan racun ini. Sebaliknya terjadi lebih banyak kasus keracunan yang berarti dengan zat yang jauh lebih kurang toksiknya, misalnya dengan methanol, yang baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi 10 g. dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya sendir, tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang masuk dan diabsorpsi, dengan kata lain tergantung pada cara kerja, frekuensi kerja dan waktu kerja.
b.      Etiologi
Semua zat yang disebutkan di bawah ini dapat berlaku atau menyebabkan keracunan pada seseorang yaitu :
1)      Obat
2)      Zat yang menimbulkan ketergantungan
3)      Zat tambahan makanan, bahan makanan dan makanan itu sendiri
4)      Pestisida
5)      Industri
6)      Lingkungan
7)      Aksidental / tak sengaja
8)      Perang
9)      Sinar
10)  Forensic
11)  Logam
Meskipun toksisitas merupakan sifat bawaan suatu zat, bentuk dan tingkat manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantung pada berbagai jenis faktor.
1)      Faktor Penjamu
a)      Spester, Strain dan Individu
Telah lama diketahui adanya efek toksik antara satu spesies dan spesies lain. Pengetahuan akan hal ini digunakan untuk mengembangkan, misalnya, pestisida yang lebih toksik bagi hama daripada bagi manusia dan mamalia lain. Meskipun demikian, diantara mamaliapun ada perbedaan yang menonjol dalam toksisitas (Williams, 1974). Beberapa perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan mekanisme detoksikasi. Misalnya, pada beberapa spesies hewan coba, lamanya waktu tidur yang diinduksi oleh heksobarbital sangat berbeda-beda diantara spesies itu.
Perbedaan respon terhadap heksobarbital, meskipun tidak begitu nyata, juga ditemukan diantara berbagai strain menat (Say, 1955).
Terlepas adari variasi kerentaran antara satu spesies dan spesies lain, serta antara satu strain dan strain lain, ada juga variasi diantara individu dalam satu spesies dan satu strain. Variasi individual semacam itu biasanya secara relative kecil, tetapi ada beberapa perkecualian. Fenomena ini telah banyak dipelajari pada manusia. Misalnya, ada orang yang termasuk “inaktifaktor lambat”, yang kekurangan aseti transferase, sehingga ia lebih mudah menderita neuropati perifer. Sebaliknya, ia orang yang asetiltransferasenya lebih efisien emerlukan isoniazid dosis lebih besar untuk mendapat efek terapeutiknya sehingga orang ini cenderung menderita kerusakan hati.
b)      Seks, Status Hormonal dan Kehamilan
Hewan jantan dan betina dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama pula. Meskipun demikian, ada pula perbedaan kuantitatif menonjol dalam kerentanan mereka, terutama pada tikus. Misalnya, kloreform bersifat nefrotoksik akut pada menat jantan tetapi tidak pada yang betina. Lebih besarnya kerentanan menat jantan ini dapat dipahami bila kita mengingat tingginya kadar sitokorm P-450 (Smith dkk, 1983).
Ketidakseimbangan hormone nonsexual dapat juga mengubah kerentanan hewan terhadap toksikan. Hipertiroidisme, hiperinsulinisme, adrenalektomi, dan stimulasi poros hipofisisadrenol semuanya telah terbukti dapat mengubah efek toksikan (Doull, 1980 : Hodgson, 1987).
Ada beberapa bukti bahwa tikus hamil (Ivankovic, 1969) lebih rentan terhadap aktivitas kasinogenetik etilnitrosourea. Tumor sangat ganas yang tampaknya berasal dari trofoblas itu muncul pada hewan ini dan mengakibatkan kematian secara cepat.
c)      Umur
Telah lama diketahui bahwa neonatus dan hewan yang sangat muda umumnya lebih rentan terhadap toksikan seperti morfin. Untuk sebagian besar toksikan, organisme muda 1,5 – 10 kali lebih rentan daripada yang dewasa. (goldental, 1971).
Kloramfenikol diekskresi terutama sebagai suatu konjugat glukuronid. Bila 1 dosis sebesar 50 mg/kg diberikan kepada bayi usia ½ hari, kadarnya di darah adalah 15 mg/mL atau lebih selama selang waktu 48 jam. Sebaliknya, anak-anak berumur 1-11 tahun hanya mempertahankan kadar darah setinggi itu selama 12 jam (Weiss dkk, 1960).
Namun, tidak semua zat kimia lebih toksik pada kaum muda. Zat-zat tertentu, terutama perangsang SSP, tidak begitu toksik bagi neonatus. Lu dkk (1965) melaporkan bahwa LDso DDT adalah lebih dari 20x lebih besar pada tikus baru lahir dibandingkan pada yang dewasa, ini jauh berbeda  dengan malation.
Toksikan tertentu lebih banyak diserap oleh makhluk muda daripada makhluk dewasa. Misalnya, anak-anak kecil dapat menyerap timbale empat samapai lima kali lebih banyak daripada orang dewasa (Mc Cabe, 1979) dan dapat menyerap kodmium 20x lebih banyak (Sasser dan Jarbon, 1977).
d)     Status Gizi
Sejumlah penelitian karsiogenesis telah menunjukkan bahwa pengurangan jumlah zat makanan dapat menurunkan humongenisitas karsinogen, seperti afatoksim B dan dimetil nitrosamine. Kekurangan vit A menekan fungsi MFO (sistem oksidare fungsi campur). Secara umum, demikian juga dengan defisiensi vitamin C dan E. Tetapi kekurangan tiamin berefek sebalinya. Si samping iru, kekurangan vitamin A juga meningkatkan kerentanan sistem pernapasan terhadap karsinogen (Nettesheim dkk, 1979).
e)      Penyakit
Untuk biotransformasi dan ekskresi, keadaan fungsi hati dan ginjal sangat penting. penyakit hati seperti hepapatitis akut dan kronis, sinosis hati dan nekrosis hati mengakibatkan menurunnya diotransformasi. Penyakit ginjal dapat juga mempengaruhi manifestasi toksik berbagai zat kimia. Efek ini terjadi akibat kacaunya fungsi ekskresi dan metabolic ginjal..Penyakit jantung, bila berat, juga dapat meningkatkan toksisitas beberapa zat kimia dengan mengganggu sirkulasi hati dan ginjal, sehingga mempengaruhi fungsi metabolic dan ekskresi alat tubuh ini.

2)      Faktor Lingkungan
a)      Faktor Fisik
Perubahan suhu dapat mengubah toksisitas. Misalnya, kolkisin dan digitalis lebih bersifat toksik bagi tikus daripada katak. Tetapi toksisitasnya terhadap katak akan meningkat bila suhu lingkungan dinaikkan. Efek suhu lingkungan terhadap besar dan lamanya respon tampaknya berhubungan dengan reaksi biokimia yang bergantung suhu, yang berperan dalam menimbulkan efek dan boitransformasi bahan kimia itu.
b)      Faktor Sosial
Telah diketahui bahwa lingkungan peternakan dan berbagai jenis faktor social dapat mengubah toksisitas berbagai zat kimia : penanganan hewan, cara pengandangan, jenis sangkar, dan bahan alas, semua merupakan faktor yang penting.


c.       Patologi dan Patofisiologi
Selain menyebabkan efek local di tempat kontak suatu toksik akan menyebabkan kerusakan bila ia diserap oleh organisme itu. Selain itu, sifat dan hebatnya efek zat kimia terhadap organisme ini tergantung dari kadarnya di organ sasaran. Kadar ini tidak hanya bergantung pada dosis yang diberikan tetapi juga pada beberapa faktor lain misalnya derajat absorpsi, distribusi, pengikatan dan ekskresi. Agar dapat diserap, didistribusi, dan akhirnya dikeluarkan, suatu toksikan harus melewati sejumlah membrane sel. Suatu toksikan melewati membrane sel melalui 4 mekanisme penting yaitu difusi pasif, filtrasi melalui pori-pori, transport dengan perantaraan carier, dan percakapan oleh sel.
Jalur utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru dan kulit. Namun, dalam penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus seperti injeksi intraperitoneal, intramuskuler, dan subkutan. Setelah suatu zat kimia memasuki darah, ia didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh. Laju distribusi ke tiap-tiap alat tubuh berhubungan dengan aliran darah di alat tersebut, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel serta afinitas komponen alat tubuh terhadap zat kimia itu. Setelah diabsorpsi dalam tubuh, toksikan dapat dikeluarkan dengan cepat / perlahan. Mereka dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit, dan / sebagai konjugat. Jalur utama ekskresiatau urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting untuk zat kimia jenis tertentu.
Seperti terlihat di atas, sifat dan intensitas efek suatu bahan kimia bergantung pada kadarnya di tempat kerja, yaitu dari efek dosis efektifnya. Umumnya, kadarnya di dalam organ sasaran merupakan fungsi kadar darah.. Namun, pengikatan toksikan dalam jaringan akan menambah kadarnya, sementara sawar jaringan cenderung mengurangi kadarnya.
Selama penyerapan, kadar toksikan dalam darah meningkat. Sementara itu, laju ekskresi, biotransformasi dan distribusinya ke alat-alat tubuh dan jaringan lain juga bertambah. Kutva yang melukiskan hubungan kadar darah terhadap waktu serta area bawah kurva (AUC) merupakan alat yang berbuna dalam toksikokinetik. Dalam suatu rangkaian penelitian percobaan, Smith dan Hottendorf (1980) menunjukkan bahwa AUC untuk suatu larutan zat kimia umumnya lebih besar daripada AUC untuk suspensinya dan AUC lebih besar untuk zat kimia yang bersifat asam dibandingkan dengan yang bersifat basa.
Pengaruh laju ekskresi terhadap kadar darah dapat dilihat dari contoh sakarin dan metal merkuri. Sakarin segera diekresi, karena itu kadar darahnya menurun cepat, bahkan setelah pemberian berulang-ulang. Sebaliknya, metal merkuri diekskresi sangat perlahan, penimbunannya yang berangsur-angsur menyebabkan kadar terus meningkat dan baru setelah 270 hari menjadi datar (Munro dan Willes, 1978).
Efek toksik sangat bervariasi dalam sofat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Semua efek toksik ini terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan dengan simulasi reseptor tertentu dalam tubuh.
1)      Efek Lokal dan Sistemik
Efek local dapat terjadi jika beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu bersentuhan dengan tubuh. Sedangkan efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap dan tersebar ke bagian tubuh lain.
2)      Efek Terpulih dan Nirpulih
Efek toksik disebut berpulih (reversible) jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sedangkan, efek nirpulih (irreversible) akan menetap  atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek nirpulih di antaranya karsinama, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati.
3)      Efek Segera dan Tertunda
Banyak toksikan menimbulkan efek segera, yaitu efek yang timbul segera setelah 1x pajanan. Sedangkan efek tertunda timbul beberapa waktu setelah pajanan..
4)      Efek Morfologis, Fungsional dan Biokimiawi
Efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan berpulih pada fungsi organ sasaran. Karenanya, pada penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal selalu diperiksa.
Walaupun semua efek toksik berkaitan dengan perubahan biokimiawi, pada uji toksisitas rutin, yang dimaksud dengan “efek biokimiawi” pada umumnya untuk toksik yang tidak menyebabkan perubahan morfilogis.
5)      Reaksi Alergi dan Kliosinkrasi
Reaksi alergi (disebut juga reaksi hipersensitivitas) terhadap toksikan disebabkan oleh sensitisasi sebelumnya oleh toksikan itu / bahan yang mirip secara kimiawi. Sedangkan, reaksi Idiosinkrasi pada umumnya didasari oleh faktor keturunan yang menyebabkan reakktivitas abnormal terhadap bahan kimia.
Toksikan tidak mempengaruhi semua organ secara merata. Mekanisme yang mendasari tentang bagaimana suatu toksikan mempengaruhi organ tertentu antara lain lebih pekanya suatu organ, lebih tingginya kadar kimia atau metabolinya di organ sasaran (contoh berbagai efek toksikan pada berbagai sistem dalam tubuh :
1)      sistem Pernapasan
toksikan dapat memberikan efek sistematik setelah diserap dari saluran napas dan disebabkan ke jaringan lain, toksikan tersebut dapat juga menginduksi efek local pada saluran napas, toksikan juga dapat memberikan efek pada paru-paru seperti iritasi local, kerusakan sel dan edema, fibrosis dan emfisema, respon alergi, kanker paru-paru. Toksikan juga dapat mempengaruhi saluran nafas setelah pajanan lewat jalur paru-paru lainnya
2)      hati
toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati seperti perlemakan hati ( steatosis ), nekrosis hati, kolestasis, sirosis & hepatitis yang mirip .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar