A. Pengertian
Cedera kepala
adalah serangkaian kejadian patologis yang dapat melibatkan kulit kepala,
tulang dan jaringan otak sebagai akibat dari pukulan yang menyebabkan kerusakan
langsung atau gerakan intraserebral akibat percepatan atau perlambatan yang terjadi
secara cepat (Mansjoer, 2000).
Menurut
Satyanegara (1998) cedera kepala berdasarkan keadaan klinik dapat dibagi yaitu
:
a. Tingkat I (cedera kepala ringan)
Adanya riwayat kehilangan kesadaran
atau pingsan setelah mengalami trauma dan kemudian sadar kembali. Pada waktu
diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit
neurologis.
b. Tingkat II (cedera kepala sedang)
Kesadaran menurun tetapi dapat
mengikuti perintah-perintah yang sederhana dan dijumpai adanya defisit
neurologis.
c. Tingkat III (cedera kepala berat)
Kesadaran yang sangat menurun dan
tidak bisa mengikuti perintah sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun
susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gagu, gelisah, respon motorik
bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisis rasa sakit sampai tidak
ada respon sama sekali.
Menurut Brunner
& Suddarth (2002) panduan dalam pengkajian GCS adalah sebagai berikut :
Membuka mata
Spontan 4
Dengan perintah 3
Dengan nyeri 2
Tidak berespon 1
Respon motorik
Dengan perintah 6
Melokalisasi
nyeri 5
Menarik area
yang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi
abnormal 2
Tidak berespon 1
Respon verbal
Berorientasi 5
Bicara
membingungkan 4
Kata-kata tidak
tepat 3
Suara tidak
dapat dimengerti 2
Tidak ada respon
1
B.
Etiologi
Kebanyakan
cedera kepala merupakan akibat dari kontak bentur atau guncangan lanjut. Cedera
kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang
sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan
kepada yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena
pukulan (Satyanegara, 1998).
Selain itu
penyebab yang paling umum adanya peningkatan TIK pada pasien cedera kepala
adalah edema serebri. Puncak pembengkakan yaitu 72 jam setelah cedera. Pada
saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat,
terjadi peningkatan TIK karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar. Akibat
cedera dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur
internal otak yang kaku.
C.
Patofisiologi
Menurut Sylvia
(1995), kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui
dua cara :
a. Efek langsung trauma pada fungsi otak.
b. Efek-efek lanjutan dari sel-sel otak yang
bereaksi terhadap trauma.
Kerusakan neurologik langsung
disebabkan oleh suatu benda suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak,
kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras
bergerak dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini disebut juga cedera contrecoup.
Bagian
otak yang paling besar kemungkinannya untuk mengalami cedera terberat adalah
bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus
oksipitalis, bagian atas mesenfalon. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak
dipengaruhi oleh suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen
dan sangat peka terhadap cedera metabolik apabila supia terhenti. Sebagai
akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur
volume darah yang beredar sehingga menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
Prinsip-prinsip patofisiologi :
a. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada cedera kepala, hipoksia atau
kerusakan pada otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik
anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya metabolik asidosis.
b. Pola pernafasan
Cedera kepala yang mengubah tingkat
kesadaran biasanya menimbulkan gagal nafas yang mengakibatkan laju mortalitas
yang tinggi diantara pasien cedera kepala.
c. Kerusakan mobilitas fisik
Akibat terjadinya edema dari cedera
kepala berat, dapat mengalami perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan,
kehilangan tonus otot, otot spastik. Hemiparese dan hemiplegi sebagai akibat
kerusakan pada area motorik otak.
d. Keseimbangan hidrasi
Hampir semua pasien cedera kepala
akan memounyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi yang seimbang,
kondisi ini akan mengurangi kemampuan tubuh berespon terhadap stres. Dalam
keadaan stres fisiologi, makin banyak antidiuretik (ADH) makin banyak
aldosteron diproduksi yang mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses ini
biasanya membaik dengan sendirinya dalam satu sampai dua hari, bila diuresis
terjadi.
e. Aktivitas menelan
Gangguan area motorik dan sensorik
dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan
pada sisi mulut dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah.
f. Kemampuan komunikasi
Pasien dengan cedera kepala juga
disertai kerusakan komunikasi yang terjadi secara tersendiri melainkan akibat
dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa.
D. Manifestasi
Klinis
Menurut
Smellzer (1998), manifestasi cedera kepala adalah sebagai berikut :
a. Gegar
serebral (komutio serebri)
Bentuk ringan, disfungsi neurologis
sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, pingsan mungkin
hanya beberapa detik/ menit.
Gejala lain : sakit kepala, tidak
mampu konsentrasi, pusing, peka, amnesia, retrogrod.
b. Memar
otak (konfusio serebri)
Pecahnya pembuluh darah kapiler,
tanda dan gejala bervariasi bergantung lokasi dan derajat.
1. Ptechie
dan rusaknya jaringan saraf.
2. Edema
jaringan otak.
3. Peningkatan
tekanan intrakranial.
4. Herniasi.
5. Penekanan
batang otak.
c. Hematoma
epidural
“Talk dan Die” tanda klasik :
Penurunan kesadaran ringan saat
benturan merupakan periode lucid (pikiran jernih) beberapa menit, beberapa jam
menyebabkan penurunan kesadaran, neurologis :
1)
Kacau mental : koma
2)
Pupil isokor : anisokor
3)
Hematoma subdural
Akumulasi di bawah lapisan durameter diatas arachonoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi.
Gejala biasanya 24-48 jam post trauma
(akut). :
1) Perluasan
masa lesi.
2) Peningkatan
TIK
3) Sakit
kepala, letargi, kacau mental, kejang.
4) Disfasia
d. Hematoma
intracranial
1)
Penumpukan darah pada dalam parenkim otak (³ 25
ml)
2)
Karena fraktur depresi tulang tengkorak
3)
Gerakan aselerasi
E. Pemeriksaan
penunjang
a. CT Scan kepala
Untuk menggambarkan sifat lokasi dan
luasnya lesi yang menunjukkan adanya oedema cerebral, kontisio hematoma
intraserebral, hemoragi dan perubahan lambat akibat trauma.
b. Angiografi cerebral
Menggambarkan hematoma supra
tentoral, intra serebral, konfusio, gambaran tengkorak dari posterior dan
anterior.
c. Rongent kepala tiga posisi
Untuk mengetahui adanya fraktur
tulang tengkorak.
d. EEG
Untuk mengetahui adanya gelombang
patologi.
e. Fungsi lumbal
Untuk mengetahui perdarahan
subarachnoid.
f. Analisa gas darah
Untuk mengetahui masalah ventilasi
yang menyebabkan TIK meningkatkan.
g. Kimia/elektrolit darah
Untuk mengetahui keseimbangan yang
berperan meningkatkan TIK.
h.
Darah rutin
Untuk mengetahui penurunan hubungan akibat
perdarahan.
F. Komplikasi
a. Edema subdural dan herniasi otak
b. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh
kerusakan traumatik pada tangkai limfosis, menyebabkan penghentian sekresi
hormon antideuretik.
c. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera
(dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut.
d. Infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran
kemih, septikemia).
G. Penatalaksanaan
Menurut
Satyanegara (1998) penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan cedera
kepala meliputi :
a. Keperawatan
1) Cedera Kepala Tingkat I
Penanganannya
mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat
penurunan kesadaran atau ringan, riwayat adanya amnesia (retrogradi) serta
keluhan-keluhan lain yang berkiatan dengan peningkatan tekanan intrakranial
seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung
merupakan tanda ada tidaknya trauma kepala. Sedangkan amnesia antegrade (pasca
trauma) lebih berkonoasi akan berat ringannya konstruksi cedera kepala yang
terjadi. Pemeriksaan fisik disini ditekankan untuk menyingkirkan adanya
gangguan sistemik lainnya, serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin
ada. Kepentingan pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan
untuk mengetahui adanya : fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar
pineal, pneumosefalus, korpus alinenum dan lainnya, sedangkan foto servikal
atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Pemeriksaan sken
tomografi komputer otak (“CT Scan”) secara ideal perlu dilakukan bagi semua
kasus cedera kepala.
2) Cedera Kepala Tingkat II
Penanganan
pertama selain mencakup anamnesa (seperti diatas) dan pemeriksaan fisik serta
foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi komputer otak.
Pada tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari
pertama perawatan di rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap
setengah jam sekali, sedangkan follow up sken tomografi komputer otak pada hari
ke 3 atau bila ada pemburukan neurologis.
3) Cedera Kepala Tingkat III
Penderita kelompok
ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana sekalipun setelah
stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih belum mencakup
keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya adalah dikategorikan
sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas, dimana tindakan “menunggu” (wait and see) disini dapat berakibat
sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh
tahap yaitu :
a) Stabilitas kardiopulmoner mencakup
prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-Circulating) Keadaan-keadaan hipoksemia,
hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial
dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala
tingkat III memerlukan intubasi.
b) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai
macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
c) Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata,
motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks okulosefalik dan refleks
okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah
penderita masih rendah (syok).
d) Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya.
e) Pemberian pengobatan seperti : antiedema
serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat.
f) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : sken
tomografi komputer otak, angiografi serebral dan lainnya.
g) Penilaian tindakan operasi versus konservatif.
b. Pengobatan
1) Terapi operasi pada cedera kepala
Kriteria paling sederhana yang dipakai
sebagai individu tindakan operatif adalah adanya lesi massa intrakranial dengan
pergeseran garis tengah > 5 mm (kecuali penderita sudah mati otak).
2) Terapi medikamentosa pada cedera kepala
Pengobatan yang lazim diberikan pada
cedera kepala adalah obat-obatan golongan deksamethasone, mannitol 20%,
fenitol, karbamazepin.
H. Pengkajian
Keperawatan
1. Riwayat
kesehatan meliputi : keluhan utama, kapan cidera terjadi, penyebab cidera,
riwayat tidak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu, riwayat kesehatan
keluarga.
2. Pemeriksaan
fisik
a.
Keadaan umum
b.
Pemeriksaan persistem
System persepsi dan sensori (penmeriksaan panca
indera : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa)
System persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS,
reflek bicara, pupil, orientasi waktu dan tempat)
System pernapasan (nilai frekuensi nafas,
kualitas, suara, dan kepatenan jalan nafas)
System kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama,
kualitas dan frekuensi)
System gastrointestinal (nilai kemampuan
menelan, nafsu makan/minum, peristaltic, eliminasi)
System integument (nilai warna, turgor, tekstur
dari kulit, luka/lesi)
System reproduksi
System perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume
BAK)
3. Pola
fungsi kesehatan
Pola persepsi dan pemaliharaan kesehatan
(termasuk adakah kebiasaan merokok, minum alcohol, dan penggunaan obat-obatan)
Pola aktivitas dan latihan (adakah keluhan
lemas, pusing, kelelahan dan kelemahan otot)
Pola nutrisi dan metabolism (adakah keluhan
mual, muntah)
Pola eliminasi
Pola tidur dan istirahat
Pola kognitif dan perceptual
Persepsi diri dan konsep diri
Pola toleransi dan koping stress
Pola seksual dan reproduktif
Pola hubungan dan peran
Pola nilai dan keyakinan
I. Diagnosa
Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema serebral (respons lokal atau
umum pada edema, perubahan metabolik), penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, distritmia jantung).
b. Rresiko tinggi terhadap pola nafas tak
efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakheobronkial).
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/
kewaspadaan keamanan misalnya tirah baring, imobilitasi.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan
dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosesdur invasif, penurunan kerja silia,
statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi tertekan (gangguan
steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
f. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan,
status hipermetabolik.
g. Kurang perawatan diri berhubungan dengan
kelemahan fisik (penurunan tingkat kesadaran).
J. Rencana Keperawatan
No
|
Diagnosa
|
NOC
|
NIC
|
Rasional
|
1.
|
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d edema serebral,
ditandai dengan perubahan tingkat keadaan, kehilangan memori, perubahan
respons motorik/sensori, gelisah, perubahan tanda vital.
|
Tissue Perfusion : cerebal
Kriteria Hasil :
- Tingkat kesadaran membaik
- Fungsi motorik dapat dipertahankan
- Tanda vital sign normal.
|
Monitoring
Neurologis :
-
Monitor
status neurologis secara teratur
-
Kaji
respon motorik
-
Monitor
tanda-tanda vital
-
Atur
posisi pasien sesuai indikasi
-
Monitor
intake dan output cairan
- Perhatikan adanya gelisah yang meningkat
atau peningkatan
keluhan
- Anjurkan orang terdekat untuk bebicara
dengan pasien
- Kolaborasi pemberian analgetik, steroid,
sedatif
|
- Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan sistem
saraf pusat.
- Mengukur kesadaran dan kemampuan berespon
pada rangsangan.
- Mengetahui adanya gangguan sejak dini
- Posisi yang benar meminimalkan gangguan
perfusi jaringan.
- Sebagai indikator dari cairan tubuh yang
terintegrasi dengan pefusi jaringan
- Petunjuk non verbal mengindikasikan adanya
peningkatan tekanan intra kranial.
- Uangkapan keluarga dapat menyenangkan
pasien mempunyai efek relaksasi.
- Analgetik dapat menghilangkan nyeri,
steroid dapat menurunkan inflamasi, sedatif dapat mengendalikan kegelisahan.
|
2
|
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif.
|
Respiratory
status : Airway patency
- Pola pernafasan normal/efektif
- Bebas sianosi
- GDA dalam batas normal.
|
Air Management :
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan, catat
ketidakteraturan pernafasan
- Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam
yang efektif jika pasien sadar.
- Auskutlasi suara nafas, perhatikan daerah
hipoventilasi dan adanya suara-suara tambahan yang tidak normal.
- Kolaborasi pemeriksaan analisa gas darah
- Kolaborasi pemberian oksigen
|
- Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak), pernafasan lambat,
periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
- Mencegah / menurunkan ateletaksis.
- Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru
seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan
oksigenasi serebral dan/atau menanda-kan terjadinya infeksi paru (umumnya
merupakan komplikasi dari cedera kepala).
- Menentukan kecukupan pernafasan,
keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
- Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia.
|
3
|
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan
dengan jaringan trauma, prosedur invasif.
|
§ Immune Status
§ Risk control
- Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
-
Jumlah leukosit dalam batas
normal
|
Infection control :
- Berikan perawatan aseptik dan antiseptik,
pertahankan teknik
cuci tangan yang baik.
- Obervasi daerah kulit yang mengalami
kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasi (infus dan sebagainya).
- Monitor suhu tubuh secara teratur
- Observasi warna/kejernihan urine, catat
adanya bau busuk
(yang tidak enak).
- Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
sesuai indikasi
|
- Cara pertama untuk menghindari terjadinya
infeksi nosokomial.
- Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
- Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis
yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
- Sebagai indikator dari perkembangan infeksi
pada saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera.
- Terapi profilaksik dapat digunakan pada
pasien yang mengalami trauma (perlukaan, kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
|
4
|
Kurang perawatan diri berhubungan dengan
kelemahan fisik (penurunan tingkat kesadaran).
|
Self care : Activity of Dailing Living
Kriteri hasil :
- Perawatan diri dapat terpenuhi dan
dilakukan secara mandiri.
|
Self care assistance : ADLs
- Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri (badan,
rambut, kuku dan gosok gigi)
- Berikan bantuan sesuai kebutuhan.
- Perhatikan adanya tanda-tanda non verbal
yang fisiologis.
|
- Sesuai dengan perkembangan penyakit,
kebutuhan akan kebersihan dasar mungkin dilupakan.
- Meningkatkan kepercayaan dan melatih
kemandirian.
- Kehilangan sensori dan penurunan fungsi
bahasa mungkin menyebabkan pasien mengungkapkan kebutuhan perawatan diri
dengan cara non verbal.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar