Jumat, 23 Mei 2014

ASMA BRONKIAL



ASMA BRONKIAL



  1. Definisi
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luar saluran nafas bagian bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan (Buku Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI).
Asthma Bronchiale adalah penyakit yang mempunyai karakteristik dengan peningkatan respon trakhea dan bronkus dengan berbagai macam stimulasi: psikologis, otonom, infeksi, endokrin, kekebalan imun dan biokimia. (Nancy Holloway Medical, Surgical Nursing Care Plan).

  1. Anatomi Fisiologi
Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara luas agar bersentuhan dengan membran-membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring, bronkus dan bronkioulus yang dilapisi oleh membran mukosa bersilia.
a.       Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat di dalam hidung, sedangkan partikel halus akan dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan bagian bawah.
b.      Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan rongga hidung dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut. Tempat hubungan ini bernama istmus fausium lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang tengkorak) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi menjadi 3 bagian:
·         Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring.
·         Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
·         Bagian bawah skali dinamakan laringofaring.
c.       Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot pita suara. Laring dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan laring akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus sehingga kalau ada benda asing masuk  sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi batuk yang membantu benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.
d.      Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya untuk mempertahankan oagar trakea tatap terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini bergerak jalan ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang turut masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.
e.       Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu bronkus utama kiri dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebalinya bronkus ini lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian segmentalis. Percabangan ini berjalan terus dan menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli.
f.       Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis merupakan saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang dapat mengurangi tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan pada waktu inspirasi dan mencegah kolaps alveolus pada ekspirasi.

Peredaran Darah Paru-Paru
Paru-paru mendapat dua sumber suplai darah yaitu dari arteri bronkialis (berasal dari aorta thorakhalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sitemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme paru.
Vena bronkialis besar bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan jantung mengalirkan darah vena campuran ke paru-paru. Di paru-paru terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah, darah yang teroksigenasi dikembalikan ke ventrikel kiri jantung melalui vena pulmonalis, yang selanjutnya membagikannya melalui sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh.
Proses Pernafasan dipengaruhi oleh:
Ventilasi       : pergerakan mekanik udara dari dan ke paru-paru
Perfusi          : distribusi oksigen oleh darah ke seluruh pembuluh darah di paru-paru.
Difusi           : pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.
Transportasi  : pengangkutan O2-CO2 yang berperan pada sistem cardiovaskuler.

  1. Etiologi
·         Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen yang diketahui karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat, polusi.
·         Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronchial.

  1. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor berikut ini.
1.      Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.
2.      Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3.      Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.

  1. Tanda dan Gejala
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengie (wheezing) dan sebagian penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama, sehingga ada beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut:
·         Tingkat I penderita asma secara klinis normal. Gejala asma timbul bila ada faktor pencetus.
·         Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik tetapi fungsi paru menunjukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
·         Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun fungsi paru menunjukan obstruksi jalan nafas.
Misal: Tingkat II dijumpai setelah sembuh dari serangan asma.
      Tingkat III penderita sembuh tetapi tidak menemukan pengobatannya.
·         Tingkat IV penderita asma yang paling sering dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.
Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada serangan asma yang berat gejala yang timbul antara lain:
a.       Kompresi otot-otot bantu pernafasan terutama otot sterna.
b.      Cyanosis
c.       Silent chest
d.      Gangguan kesadaran
e.       Penderita tampak letih, hiperinflasi dada
f.       Thacycardi
·         Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma akut yang berat bersifat refrater sementara terhadap pengobatan yang langsung dipakai.

  1. Test Diagnostik
1.      Tes kulit (tuberculin dan alergen)
Tes kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi yang spesifik.
2.      Rontgen: foto thorax menunjukan hiperinflasi dan pernafasan diafragma.
3.      Pemeriksaan sputum: Dapat jernih atau berbusa (alergi)
     Dapat kental dan putih (non alergi)
     Dapat berserat (non alergi)
4.      Pemeriksaan darah: *  Eusinofilia (kenaikan badan eusinofil)
  *  Peningkatan kadar IgE pada asma alergi
  *  AGD à hipoxi (serangan akut)

  1. Penatalaksanaan Medik
Ada lima kategori pengobatan yaitu:
1.      Abenis (Beta)
Medikasi awal untuk mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan gerakan siliarism, menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid.
Contoh: Epinenin, Abuterol, Meraproterenol
2.      Methil Santik
Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan otot-otot polos bronkus, meningkatkan gerakan mukus, dan meningkatkan kontraksi diafragma.
Contoh: Aminofilin, Theofilin
3.      Anti Cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk antibodi b dan methil santin karena penyakit jantung.
Contoh: Atrofin
4.      Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor.
Contoh: hidrokortison, prednison dan deksametason
5.      Inhibitor Sel Mast
Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral dari pengobatan asma yang berfungsi mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik.

  1. Komplikasi
1.      Pneumothorax
2.      Pneumomediastinum dan emfisema subcutis
3.      Atelektasis
4.      Asper gilosis bronkopulmoner
5.      Alergi
6.      Gagal nafas
7.      Bronchitus
8.      Fraktur iga.

A.    Konsep Dasar Keperawetan

  1. Pengkajian
a.       Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
-          Klien mengeluh sesak nafas, batuk, lendir susah keluar
-          Mengeluh mudah lelah dan pusing
-          Data penggunaan obat
-          Klien mengenal/tidak mengenal penyebab serangan
b.      Pola nutrisi metabolik
-          Mual, muntah, tidak nafsu makan
-          Menunjukan tanda dehidrasi, membran mukosa kering
-          Cyanosis, banyak keringat
c.       Pola aktivitas dan latihan
-          Aktivitas terbatas karena adanya wheezing dan sesak nafas
-          Kebiasaan merokok
-          Batuk dan lendir yang sulit dikeluarkan
-          Menggunakan otot-otot tambahan saat inspirasi
d.      Pola tidur dan istirahat
-          Keluhan kurang tidur
-          Lelah akibat serangan sesak nafas dan batuk
e.       Pola persepsi dan konsep diri
-          Klien kemungkinan dapat mengungkapkan strategi mengatasi serangan, tetapi tidak mampu mengatasi jika serangan datang.
f.       Pola kognitif dan persepsi sensori
-          Sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakitnya
-          Kemampuan mengatasi masalah
-          Melemahnya proses berfikir
g.      Pola peran dan hubungan dengan sesama
-          Terganggunya peran akibat serangan
-          Merasa malu bila terjadi serangan
h.      Pola seksualitas dan reproduksi
-          Menurunnya libido
i.        Mekanisme dan toleransi terhadap stress
-          Mengingkari
-          Marah
-          Putus asa

  1. Diagosa Keperawatan
a.       Ketidakefektifan jalan nafas b.d peningkatan produksi sekret.
b.      Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai O2.
c.       Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
d.      Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pemasukan yang tidak adekuat: mual, muntah dan tidak nafsu makan.
e.       Kecemasan b.d sesak nafas dan takut.
f.       Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
g.      Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahan utama (penurunan kerja silia dan menetapnya sekret).
h.      Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi.

  1. Rencana Tindakan
a.       Ketidakefektifan jalan nafas b.d peningkatan sekret.
HYD:   -    Suara nafas vesikuler
-          Bunyi nafas bersih, tidak ada suara tambahan
Intervensi:
1.      Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronchi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels basah (bronkitis), bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi nafas (asma berat).
2.      Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat radio inspirasi/ekspirasi.
R/ Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
3.      Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
4.      Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
5.      Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu, asap dan bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.
R/ Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
6.      Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ Memberikan pasien-pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan menurunkan jebakan udara.
7.      Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
8.      Tingkatkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
 R/       Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret. Mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.

b.      Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai O2.
HYD:   -    Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi:
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
R/ Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya penyakit.
2.      Awasi secara rutin kulit dan membran mukosa.
R/ Kemungkinan cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
3.      Kaji AGD, pO2, pCO2.
R/ Hipoxemia biasanya terjadi pada saat akut keadaan lanjut pCO2 akan meningkat.
4.      Monitor tingkat kesadaran, kelainan sakit kepala dan gangguan penglihatan.
R/ Sebagai parameter menunjukan beratnya serangan.
5.      Monitor TTV dan penggunaan otot bantu pernafasan.
R/ Indikator yang menunjukan hipoxemia dan meningkatkan usaha untuk ventilasi.

c.       Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
HYD:   -    Mampu beraktivitas sesuai keadaan.
-          Merawat diri secara mandiri.
Intervensi:
1.      Kaji keluhan sesak, pusing dan kemampuan merawat diri klien.
R/ Memahami masalah klien.
2.      Bantu personal higiene (mandi, berpakaian, bab, bak).
R/ Higiene klien terpenuhi.

d.      Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tidur b.d pemasukan yang tidak adekuat akibat dari mual, muntah, tidak nafsu makan.
HYD:   -    Nutrisi terpenuhi secara adekuat.
-          Berat badan dalam batas normal sesuai IMT.
Intervensi:
1.      Kaji status nutrisi klien.
R/ Klien dengan distress pernafasan sering anoreksia dikarenakan dyspnea, produksi sputum dan obat-obatan.
2.      Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ Kegagalan pernafasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3.      Auskultasi bising usus.
R/ Penurunan bising usus menunjukan penurunan motilitas gaster dan konstipasi yang berhubungan dengan penurunan aktivitas.
4.      Hindarkan makanan yang menghasilkan sisa gas dan karbonat.
R/ Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu pernafasan abdomen.
5.      Beri makanan porsi kecil dan sering.
R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.

e.       Kecemasan b.d sesak nafas dan takut.
HYD:   -    Ekspresi wajah rileks.
-          Mengungkapkan perasaan cemas berkurang.
-          TTV dalam batas normal.
Intervensi:
1.      Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat).
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya dan membantu pasien meningkatkan beberapa perasaan kontrol emosi.
2.      Kaji kebiasaan ketrampilan koping.
R/ Memberikan pasien tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
3.      Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien selama serangan akut, antisipasi kebutuhan pasien, berikan keyakinan lingkungan.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi dan kemampuan koping.
4.      Implementasikan teknik relaksasi, petunjuk imajinasi, relaksasiotot.
R/ Memberikan pasien untuk tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
5.      Jelaskan prosedur-prosedur, berikan pertanyaan-pertanyaan.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi.
6.      Pertahankan periode istirahat yang telah direncanakan dan kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana, jangan anjurkan berbicara bila sedang dyspnea berat, batasi pengunjung bila perlu dan berikan dorongan untuk melakukan periode istirahat dengan sering.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi.

f.       Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
HYD:   Pasien mempertahankan pola nafas efektif yang ditunjukan oleh:
-          Frekuensi irama dan kedalaman pernafasan.
-          Tidak terdapat atau dyspnea berkurang.
-          Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima oleh pasien.

Intervensi:
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada serta catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2.      Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleural.
R/ Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas/kegagalan pernafasan.
3.      Beri posisi semi fowler.
R/ Membantu ekspansi paru.
4.      Bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif.
R/ Membantu mengeluarkan sputum dimana dapat mengganggu ventilasi dan ketidaknyamanan upaya bernafas.
5.      Berikan therapi oksigen sesuai pesanan.
R/ Memaksimalkan persediaan oksigen untuk pertukaran gas.
6.      Berikan obat-obatan sesuai pesanan.
R/ Mempercepat penyembuhan.

g.      Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret.
HYD:  Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
Intervensi:
1.      Observasi TTV.
R/ Indikator tanda-tanda infeksi.
2.      Observasi warna, karakter dan bau sputum.
R/ Sekret berbau kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3.      Anjurkan pasien membuang tissue dan sputum pada tempatnya.
R/ Mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
4.      Dorong keseimbangan antara aktivitas dengan istirahat.
R/ Menurunkan konsumsi atasu kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
5.      Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
6.      Berikan obat sesuai pesanan.
R/ Mencegah terjadinya infeksi.

h.      Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi.
HYD: Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang penatalaksanaan perawatan kesehatan seperti yang dijelaskan tentang prinsip perawatan diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi:
1.      Kaji tingkat pengertian mengenai proses penyakit.
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2.      Jelaskan pentingnya pencegahan, serangan selanjutnya.
R/ Menambah pengetahuan dan partisipasi pasien.
3.      Jelaskan pentingnya latihan pernafasan dan batuk efektif.
R/ Membantu meminimalkan kolaps jalan nafas.
4.      Jelaskan tentang proses penyakit dan perawatan diri selama serangan hebat.
R/ Menurunkan ansietas dan dapat kooperatif dari pasien.
5.      Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan bergizi, hindari penambah berat badan yang berlebihan, perbanyak cairan 2000-3000 ml/hari kecuali ada kontraindikasi.
R/ Meningkatkan kooperatif dari pasien.
6.      Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping serta pentingnya minum obat sesuai pesanan.
R/ Meningkatkan pengetahuan pasien dan pasien dapat kooperatif dalam proses penyembuhannya.

  1. Discharge Planning
1.      Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan, mendeteksi substansi yang mencetuskan terjadinya serangan.
2.      Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal, kasur (kapas), pakaian jenis tertentu, hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari.
3.      Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala yang menyulitkan seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut atau mengalami infeksi pernafasan.
4.      Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga sekresi agar tidak mengental.
5.      Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari karena infeksi dapat mencetuskan serangan.
6.      Menggunakan obat-obat sesuai dengan resep.
7.      Kontrol ke dokter sesuai pesanan.



DAFTAR PUSTAKA

 Brunner and Suddarth (2002). Textbook of Medical Surgical Nursing. Alih bahasa : dr. H.Y. Kuncoro. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol. 1, Jakarta : EGC.

Black, Joyce M. (1997). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of Care. Fifth Edition. W.B. Saunders Company

Brooker, Christine. (1996). The Nurse’s Pocket Dictionary. 31/E. Alih bahasa: dr. Andry Hartono, D.A. Nutr. (1997). Kamus Sakut Keperawatan. Edisi 31. Jakarta : EGC.

Doengoes, E. Marilynn. (1993). Nursing Care Plans, Guidelines for Planning and Documenting Patient Care. Alih bahasa : I Made Kariasa, SKp, (1993). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Guyton and Hall. (1996). Textbook of Medical Physiology. Alih bahasa : dr. Irawati Setiawan. (1996). Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Harjasaputra Purwanto (2002). Daftar Obat di Indonesia. Edisi 10. Jakarta : Grafidian Medipress.

Junadi, Purnawan Atiek (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : FKUI.

Lewis, Sharon Mantik. (2000). Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Fifth Edition. Missouri : Mosby Inc.

Luckman and Sorensen’s (1993). Medical Surgical Nursing : A Psychophysiologic Approach. Fourth edition. Washington : W.B. Saunders Company.

Sylvia, A. Price (1992). Pathophysiologi : Clinical Concepts of Disease Process. Alih bahasa : Peter Anugerah (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Yesaya, Suwandi. (2004). Asma Menyerang Berbagai Umur. http://www.vision. net.id/detail.php?id=1652.


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar